Dari pembahasan yang sudah penulis ketengahkan, dapatlah kita
mengambil beberapa kesimpulan tentang kaum Salafi & Wahabi dan
fatwa-fatwa mereka dalam menuduh amalan-amalan bid’ah.
Kesimpulan-kesimpulan berikut ini mencakup aspek aqidah yang mereka
yakini dan sikap-sikap ekstrim mereka yang dilatarbelakangi oleh
fatwa-fatwa yang tidak berdasar.
1. Serampangan dalam berdalil. Kaum Salafi & Wahabi hanya
mengandalkan segelintir dalil umum tentang bid’ah yang mereka paksakan
pengertiannya untuk mengharamkan atau menganggap sesat amalan-amalan
khusus dan terperinci. Berdalil dengan cara seperti ini adalah bathil
(tidak benar) dan tidak dikenal di kalangan para ulama. Hal itu
disebabkan oleh cara mereka memahami dalil bid’ah yang sangat tekstual
(harfiyah) dan kasuistik tanpa memenggunakan metodologi para ulama
ushul.Oleh karenanya, fatwa-fatwa mereka yang membid’ahkan acara
Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan, ziarah kubur para wali,
tawassul dengan orang yang sudah meninggal, dan lain sebagainya adalah
merupakan pemerkosaan terhadap dalil dan penipuan terhadap umat, sebab
perkara-perkara tersebut tidak pernah disebutkan larangannya baik di
dalam al-Qur’an maupun di dalam hadis Rasulullah Saw. Adakah kebohongan
yang lebih buruk dari kebohongan dengan mengatasnamakan Rasulullah Saw.,
saat mereka merincikan perkara bid’ah yang tidak pernah beliau sebutkan
dalam hadis beliau, lalu mereka berkata Maulid atau tahlilan adalah
bid’ah & sesat berdasarkan hadis “Setiap bid’ah adalah kesesatan”?
Harusnya mereka sadar, bahwa sampai wafatnya, Rasulullah Saw. tidak
pernah menyebutkan rincian hadis “setiap bid’ah adalah kesesatan” bahwa
maksudnya adalah Maulid atau tahlilan.
Bahkan mereka tidak segan-segan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an yang
berbicara tentang orang kafir atau musyrik penyembah berhala sebagai
dalil untuk menganggap sesat kaum muslimin yang melakukan peringatan
Maulid, tahlilan, tawassul, dan lain sebagainya. Bagaimana mungkin
mereka dengan tega menyamakan saudaranya yang muslim dan beriman dengan
para penyembah berhala, sedang Allah saja jelas-jelas membedakannya?
2. Terkesan Mendikte Allah . Kaum Salafi & Wahabi telah
memposisikan Allah seperti yang mereka inginkan. Ini terbersit ketika
mereka berkata, bahwa orang yang melakukan tahlilan atau peringatan
Maulid Nabi Muhammad Saw. telah melakukan hal yang sia-sia dan tidak ada
pahalanya, padahal pada acara tersebut orang jelas-jelas melakukan amal
shaleh berupa silaturrahmi, berzikir, membaca al-Qur’an, membaca
shalawat, menuntut ilmu, mendengarkan nasihat, berbagi makanan, berdo’a,
mengenang Nabi Saw. dengan membaca riwayat hidup beliau, dan memuliakan
Nabi Saw. serta memupuk kecintaan kepada beliau, yang masing-masing itu
jelas-jelas diperintahkan oleh Allah secara langsung maupun tidak
langsung dan dijamin mendapat pahala. Ini merupakan kejanggalan besar di
dalam aqidah, sebab Allah Maha Pemurah, tidak pelit seperti mereka.
Allah Maha Berkehendak untuk memberi pahala kepada siapa yang Ia
kehendaki, dengan begitu Ia tidak bisa diatur oleh makhluk-Nya.
3. Berpandangan Sekuler , yaitu dengan membagi pengertian bid’ah
menjadi dua: Bid’ah yang terlarang yaitu bid’ah agama (bid’ah diiniyyah)
dan bid’ah yang menyangkut urusan dunia (bid’ah duniawiyyah) yang
mereka anggap wajar atau boleh-boleh saja menurut kebutuhan. Bukankah
semua urusan di dunia ini memiliki dampak dan resiko di akhirat nanti?
Berarti, agama dan dunia tidak bisa dipisahkan, di mana tidak mungkin
menjalankan agama tanpa fasilitas dunia, sebagaimana tidak mungkin
selamat bila orang menjalani hidup di dunia tanpa tuntunan agama. Dalam
hal ini, sebenarnya mereka sudah melakukan bid’ah yang sangat fatal
(yang melanggar fatwa mereka sendiri), yaitu membagi defininisi bid’ah
dengan pembagian yang tidak pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw. dan
para Sahabat beliau.
4. Menanamkan Kesombongan & Kebencian , yaitu dengan mendoktrin
para pengikutnya untuk menganggap sesat amalan orang lain dan menjauhi
amalan tersebut, serta menganggap bahwa kebenaran hanya yang sejalan
dengan mereka. Pada kenyataannya di lapangan, Wahabi & Salafi bukan
saja telah mendoktrin untuk menjauhi suatu amalan, tetapi sekaligus
menjauhi para pelakunya, dan ini berbuntut pada rusaknya hubungan
silaturrahmi. Lebih parahnya lagi, sebagian mereka juga menanamkan
kebencian terhadap para ulama yang menulis kitab-kitab agama dengan
ikhlas hanya karena tidak sejalan dengan paham Salafi & Wahabi.
5. Berpandangan Materialisme , yaitu dengan hanya mengakui manfaat
zhahir yang terlihat dari sebuah perbuatan, dan mengingkari manfaat
batin yang justeru lebih berharga dari manfaat zhahir. Terbukti, mereka
lebih memilih memberi makan atau santunan kepada fakir-miskin atau anak
yatim dalam rangkaian aksi sosial yang mereka yakini berpahala, daripada
memberi peluang mendapat rahmat, ampunan, dan hidayah dalam acara
tahlilan atau peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. yang mereka yakini
sia-sia. Padahal di dalam acara tahlilan atau Maulid, orang bukan cuma
diberi peluang mendapat rahmat, ampunan, dan hidayah, tetapi juga diberi
makan! Memang, menurut Wahabi & Salafi, mengenyangkan perut orang
lapar berarti menyelamatkannya dari jurang kekafiran. Sayangnya, setelah
selamat dari jurang kekafiran, orang itu dijerumuskan ke jurang
kesombongan, dan kesombongan adalah jalan lain menuju kekafiran.
6. Menyalahkan & Mendiskreditkan Orang Lain , yaitu dengan
menuduh amalan orang lain sebagai amalan syirik atau sesat tanpa upaya
mencari tahu alasan-alasan mengapa amalan itu dilakukan. Sebenarnya,
Wahabi & Salafi yang tidak kreatif ini sudah kehabisan tempat di
hati masyarakat, sehingga tidak ada cara yang lebih bagus untuk
merebutnya kecuali dengan menjelek-jelekkan atau menebarkan
keragu-raguan di hati orang-orang yang sudah biasa mengikuti ajaran para
ulama. Maklumlah, tidak ada cara yang lebih jitu bagi seorang pedagang
yang culas untuk melariskan dagangannya selain dengan mencela-cela
dagangan orang lain di hadapan para pelanggan!
7. Memberikan Tuduhan Palsu . Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw.,
ratiban, dan tahlilan hanyalah merupakan tradisi atau kebiasaan yang
dijalankan oleh masyarakat sejak masa dahulu yang diyakini mengandung
kebaikan. Masyarakat pun tahu bahwa tradisi itu boleh-boleh saja
diadakan atau tidak diadakan menurut kondisi. Namun kaum Wahabi &
Salafi menilai hal tersebut dari sudut pandang mereka sendiri, dengan
mengatakan bahwa masyarakat itu telah menjadikan acara tersebut sebagai
bagian dari pokok ajaran agama atau syari’at yang diada-adakan tanpa
dasar. Lebih buruk lagi, tidak jarang mereka mengambil dalil dari
ayat-ayat al-Qur’an yang konteks sebenarnya ditujukan untuk orang kafir
atau musyrik penyembah berhala, mereka arahkan tudingan ayat itu untuk
pelaku Maulid atau tahlilan yang sudah jelas tidak menyembah berhala.
Aneh memang, mereka yang menuduh, mereka sendiri yang menyalahkan, dan
ini adalah fitnah besar! Ibaratnya, nasi kuning hanyalah makanan biasa.
Kalau tidak doyan, tidak perlu menuduhnya sebagai peninggalan hindu yang
biasa dibuat dalam rangka mengagungkan dan memberi persembahan pada
dewa-dewa! Sungguh terlalu!
8. Mudah Mengharamkan Sesuatu yang Tidak Dijelaskan Keharamannya di
dalam al-Qur’an atau Hadis . Misalnya, tahlilan, tawassul, dan
peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw itu mereka anggap haram, karena
termasuk bid’ah sesat. Padahal Rasulullah Saw. sampai wafatnya tidak
pernah menyebutkan bahwa yang beliau maksud “..setiap bid’ah itu
kesesatan…” adalah tahlilan, tawassul, dan peringatan Maulid. Di sini
tampak keculasan mereka; untuk menyalahkan orang lain mereka gunakan
dalil umum (tidak terperinci), sedangkan untuk membenarkan amalan ibadah
mereka, mereka gunakan dalil khusus (kasuistik/berdasarkan
kasus-perkasus yang ada di dalam riwayat hadis). Akibatnya mereka sering
berkata, “Tidak ada dalil yang membenarkan peringatan Maulid”.
Semestinya mereka juga berpikir, “Tidak ada dalill yang melarang
peringatan Maulid”, karena Rasulullah Saw. tidak pernah menyebutkannya!
Yang dilarang itu bid’ah, bukan Maulid, bung!
9. Membatasi Kemampuan & Kemurahan Allah . Saat mereka menganggap
pahala amal orang hidup tidak bisa sampai kepada orang yang sudah
meninggal padahal orang tersebut telah berdo’a kepada Allah untuk
menyampaikannya, seolah mereka menganggap Allah lemah dan tidak mampu
menyampaikan pahala itu kepadanya, dan menganggap Allah pelit sehingga
tidak mau memenuhi permintaan hamba-Nya untuk menyampaikan pahala itu.
Padahal, Allah sudah menjamin dalam firman-Nya, “Berdo’alah kepada-Ku,
niscaya Aku perkenankan bagimu …” (QS. Al-Mu’min: 60) dan “Aku
tergantung sangkaan hamba-Ku, maka hendaklah ia menyangka kepada-Ku
sekehendaknya” (Hadits Qudsi riwayat Imam Ahmad), diriwayatkan dari
Abdullah bin Mas’ud Ra. ia berkata: “Demi Allah yang tidak ada Tuhan
selain-Nya, tidaklah seorang hamba berprasangka baik kepada Allah
melainkan Allah akan memberikan apa yang ia sangkakan. Hal itu karena
kebaikan (semuanya) ada pada Allah” (HR. Thabrani).
10. Menipu dan Membodohi Umat . Nyata betul bahwa mereka telah banyak
berfatwa dan menuduh berbagai amalan berbau agama sebagai bid’ah sesat
dengan fatwa-fatwa yang tidak berdasar pada dalil, lalu mereka ungkapkan
fatwa-fatwa itu atas nama Rasulullah Saw., padahal beliau tidak pernah
menyebutkannya. Keculasan itu semakin bertambah buruk, dengan upaya
mereka membatasi pola pikir umat dengan belenggu Sunnah & Bid’ah,
serta menutup akses pengikutnya dari mendapatkan penjelasan agama dari
selain kaum Salafi & Wahabi. Akibatnya, para pengikutnya menjadi
orang-orang sombong yang merasa benar sendiri, dan menutup diri dari
sumber-sumber informasi agama yang tidak sejalan dengan paham Salafi
& Wahabi.
11. Memecah Belah Ukhuwah Islamiyah. Sebagaimana telah dibahas di
dalam buku ini, bahwa di antara fatwa-fatwa Kaum Salafi & Wahabi
terdapat fatwa yang mengharuskan pengikutnya untuk menjauhi orang yang
mereka tuduh melakukan bid’ah, tidak mencintainya, tidak mengucapkan
salam kepadanya, bahkan tidak menjenguknya. Fatwa seperti ini bisa
dibenarkan, bila pengertian bid’ah yang dimaksud adalah seperti yang
dijelaskan oleh para ulama, yaitu apa saja yang bertentangan dengan
prinsip ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Tetapi sayangnya, karena pengertian
bid’ah yang dilansir kaum Salafi & Wahabi tidak jelas, mencakup
segala sesuatu yang baru berbau agama tanpa terkecuali meski sejalan
dengan prinsip agama sekalipun, maka keharusan bersikap antipati
terhadap ahli bid’ah itu jadi tidak jelas sasarannya. Dengan begitu
mereka merasa benar ketika harus membenci dan menjauhi saudaranya yang
muslim yang tidak benar-benar melakukan kesalahan atau bid’ah.
Pada kasus ini, penulis telah menerima laporan-laporan masyarakat di
mana ada jama’ah Mushalla yang sejak terpengaruh ajaran Salafi &
Wahabi, mulai senang mengisolir diri dan tidak mau memberi salam atau
bersamalan dengan jama’ah yang lain, padahal sebelumnya orang tersebut
biasa duduk bersama saat pengajian di Mushalla. Orang-orang seperti ini
tetap datang ke masjid atau mushalla, sebab menurut ajaran mereka,
shalat berjama’ah wajib hukumnya. Sayangnya, dalam melaksanakan yang
wajib, ada perkara wajib yang lain yang mereka tinggalkan, yaitu menjaga
hubungan silaturrahmi dan tidak membenci saudaranya sesama muslim. Jadi
bagaimana hukumnya, mengerjakan shalat berjama’ah sambil melakukan dosa
besar, apakah dibenarkan sikap seperti itu di dalam agama??! Jawabnya,
tentu tidak!
12. Menarik Umat Kepada Kemunduran Berpikir. Ada banyak masalah yang
perlu dipikirkan menyangkut kemaslahatan dan kemajuan bagi umat Islam di
berbagai bidang, sebagaimana juga perlu dipikirkan bagaimana caranya
orang-orang Islam yang kurang taat dan senang bermaksiat, mau bertobat
dan kembali kepada ketaatan. Di samping itu, masih banyak orang-orang
kafir yang perlu didakwahi agar mau memeluk agama Islam. Masalah-masalah
itu dan juga banyak lagi yang lainnya, hampir terbengkalai hanya karena
disibukkan oleh perdebatan lama tentang bid’ah yang sebenarnya sudah
selesai dibahas oleh para ulama sejak berabad-abad silam. Kaum Salafi
& Wahabi menyajikan pembahasan tentang bid’ah itu seolah ia
merupakan kebenaran yang baru ditemukan, dan mereka membuat perhatian
kepada ibadah yang sesuai sunnah serta menjauhi bid’ah seolah lebih
penting dari perkara apapun menyangkut agama. Tidak sadarkah mereka,
bahwa sebenarnya mereka telah menyeret umat untuk berpikir mundur
beberapa abad ke belakang, dan melalaikan hal-hal penting di masa
sekarang.
13. Berbeda dari Mayoritas Ulama. Berbeda pendapat itu biasa, tetapi
menganggap sesat setiap orang yang berpendapat beda adalah perkara yang
luar biasa. Terlebih lagi jika berbeda dengan pendapat mayoritas ulama,
lalu menganggap sesat para ulama tersebut hanya karena tidak sependapat.
Kaum Salafi & Wahabi ini bukan saja banyak berbeda paham dalam hal
bid’ah dengan mayoritas ulama, tetapi mereka juga berbeda metodologi
dalam memahami dalil-dalil. Dan jika kaum Salafi & Wahabi yang
minoritas ini merasa benar dengan pendapatnya, maka perasaan benar itu
akan mendorong mereka mengacuhkan para ulama mayoritas yang berbeda dari
mereka. Ini adalah ancaman besar, yaitu bila paham Salafi & Wahabi
ini menyebar luas di kalangan umat Islam, maka akan terjadi kepunahan
referensi agama secara halus, di mana banyak ulama akan dilupakan orang
dan banyak kitab-kitab karya mereka yang tidak dipedulikan.
14. Bukan Pengikut Salaf atau Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Kaum Salafi
& Wahabi tidak pantas disebut sebagai pengikut ulama salaf, karena
mereka tidak benar-benar mengikuti seluruh pandangan ulama salaf,
melainkan hanya memilih-milih pendapat ulama salaf yang sejalan dengan
paham mereka. Mereka juga tidak pantas disebut sebagai pengikut
Ahlussunnah Wal-Jama’ah, karena banyak fatwanya yang bertolak belakang
dengan ijma’ ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, seperti dalam masalah ziarah
kubur, tawassul dengan Rasulullah Saw. setelah wafatnya, masalah qadha’
shalat, dan lain sebagainya. Sebenarnya, paham Salafi & Wahabi ini
adalah paham baru yang belum pernah ada di masa para ulama salaf dan
setelahnya. Diduga cikal bakal paham ini baru ada di masa Ibnu Taimiyah
(sekitar abad ke-8 H.). Jadi, amat tidak pantas kalau para ulama salaf
atau para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah mereka klaim sebagai pelopor
paham mereka yang kemudian dikenal sebagai Salafi & Wahabi,
sedangkan munculnya paham ini saja jauh masanya setelah masa para ulama
tersebut.
Tidak Memiliki Format Ajaran yang Jelas. Akibat tidak menggunakan
metodologi ulama ushul (ulama yang ahli mengenai pembahasan dasar-dasar
ajaran agama) di dalam membahas dalil-dalil tentang bid’ah, maka kaum
Salafi & Wahabi terjebak di dalam pembahasan dan fatwa yang tidak
seragam. Apalagi mereka hanya merujuk pendapat ulama salaf tanpa melalui
mata-rantai penjelasannya dari para ulama setelah mereka, maka
keseragaman paham itu menjadi hal yang kemungkinannya sangat kecil. Oleh
karena itu, antara mereka saja banyak terjadi perbedaan pendapat. Hal
ini terjadi karena masing-masing mereka selalu berupaya merujuk langsung
suatu permasalahan kepada al-Qur’an, hadis, dan pendapat ulama salaf.
Tentunya, kapasitas keilmuan dan kemampuan yang berbeda dalam memahami
dalil, akan memunculkan perbedaan pandangan dalam menyimpulkan dalil
tersebut. Asal tahu saja, proses seperti inilah yang banyak memunculkan
aliran-aliran sesat dan nabi-nabi palsu di Indonesia, di mana setiap
pelopornya merasa berhak mengkaji dalil secara langsung dan memahaminya
menurut kemampuannya sendiri.
Sungguh berbeda dari ajaran mayoritas ulama yang mentradisikan proses
ijazah (pernyataan pemberian ilmu atau wewenang dari seorang guru kepada
murid), serta pembacaan dan pengajaran kitab-kitab para ulama secara
berantai dan turun-temurun dari generasi ke generasi, sehingga apa yang
dipahami oleh seorang guru yang hidup di masa lampau akan sama persis
dengan yang dipahami oleh seorang murid yang hidup belakangan, berapapun
jarak antara masa hidup keduanya. Maka kita dapat melihat perbedaan
yang nyata antara pengikut paham Salafi & Wahabi dengan para
pengikut ulama mayoritas dalam ungkapan-ungkapan penyampaian mereka.
Kaum Salafi & Wahabi akan banyak berkata, “Berdasarkan firman
Allah …” atau “Berdasarkan sunnah/hadis Rasulullah Saw. …”. Sedangkan
para pengikut ulama mayoritas akan banyak berkata, “Menurut Imam Nawawi
di dalam kitab beliau …, menurut Imam Ghazali di dalam kitab beliau …,
telah disebutkan oleh Imam as-Subki di dalam kitab beliau …, Syaikh
Salim bin Sumair al-Hadhrami di dalam kitab beliau berkata …,” dan lain
sebagainya.
Bila ditanyakan, bukankah lebih tinggi al-Qur’an dan hadis daripada
pendapat para ulama? Benar, tetapi masalahnya bukan pada al-Qur’an atau
hadisnya, melainkan pada pemahamannya. Dengan begitu seharusnya mereka
juga bertanya, mana yang lebih bagus dan lebih selamat, menyampaikan
ayat al-Qur’an dan hadis dengan pemahaman sendiri, atau menyampaikan
pemahaman para ulama tentang ayat al-Qur’an atau hadis? Terbukti,
ternyata kaum Salafi & Wahabi banyak keliru menempatkan dalil karena
mereka memahami dalil tersebut secara harfiyah (tekstual).
Penulis memandang, bahwa fatwa-fatwa kaum Salafi & Wahabi
sebagaimana telah dibahas di dalam buku ini, sangat berbahaya bagi
persatuan dan kebersamaan umat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.
Bukan Cuma itu, bahkan paham ini penulis anggap sebagai paham yang
mengandung penyimpangan di dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang
diyakini oleh mayoritas ulama dari zaman ke zaman.
Bila paham Salafi & Wahabi ini dipegang seseorang secara pasif
(untuk pribadi) dan bijaksana (dalam menyikapi perbedaan), maka bahaya
tadi dapat dihindari dengan sendirinya. Tetapi bila paham ini diyakini
sebagai “yang benar” dan yang tidak sejalan dengannya adalah “sesat”,
maka paham ini berarti mengandung ekslusivisme (merasa istimewa sendiri)
yang akan memunculkan sifat sombong pada diri pengikutnya. Dan bila
paham ini dipegang secara aktif (dipromosikan dan didakwahkan), maka
akan terbuka peluang-peluang terjadinya bahaya seperti disebutkan di
atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar